BAP DPD RI: Surat Ijo Surabaya Perlu Kesepakatan Bersama

Jakarta – Badan Akuntabilitas Publik DPD RI (BAP DPD RI) menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam rangka menindaklanjuti Rapat Audiensi bersama pihak pengadu yaitu Masyarakat dari Perkumpulan Penghuni Surat Tanah Ijo Surabaya (P2TSIS), Provinsi Jawa Timur yang dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 2021. Hal ini terkait dengan permasalahan hak pengelolaan lahan oleh pemerintah Kota Surabaya di atas tanah yang telah dihuni masyarakat Kota Surabaya yang memiliki izin pemakaian tanah (IPT) atau Surat Ijo. Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Ketua BAP DPD RI Bambang Sutrisno secara virtual, di Jakarta, Rabu (17/3).

“Permasalahan Surat Ijo ini sudah pernah ditindaklanjuti oleh BAP DPD RI, latar belakang masalah ini tentang hak atas tanah seluruh penghuni di wilayah kota Surabaya dan masyarakat diharuskan membayar sewa/retribusi dengan tarif yang ditetapkan berkali-kali dan penghitungannya diubah menjadi tarif persentase yang disamakan dengan perhitungan PBB,” ucapnya.

Dalam RDP ini Basarin Lasro Marbun yang mewakili Gubernur Surabaya menginformasikan bahwa terkait Surat Ijo ini bahwa telah dilakukan Public Hiring dengan DPRD Provinsi pada tanggal 24 September 2018 dan menghasilkan beberapa rekomkendasi. Salah satunya yaitu Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mencabut Perda tentang Pelepasan Tanah Aset Pemkot Surabaya, Perda tentang Izin Pemakaian Tanah, dan tentang Perubahan Tarif Retribusi Kekayaan daerah serta rekomendasi lainnya adalah Pemkot tidak memungut retribusi tanah Surat Ijo.

“Masyarakat keberatan dengan perda tersebut, karena masyakarat harus membayar retribusi dan harus membayar PBB, yang artinya ada 2 pungutan terhadap satu objek tanah dan itu masih berlangsung sampai sekarang,” ujar Marbun selaku Biro Pemerintahan dan Otda.

Turut hadir dalam RDP ini Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TSIS) menyuarakan bahwa mereka melihat ada hukum materil yang tidak dipertimbangkan. Hal tersebut disampaiakan oleh M Farid wakil pengadu dari P2TSIS.

“Kami menyadari dari aspek legal formal langkah pemkot ada di bawah aturan yang disahkan oleh atasan, tapi kami disini melihat ada hukum materil yang tidak dipertimbangkan atau diketahui setelah masyarakat memboikot tidak mau membayar retribusi. Tanah ini sudah terlanjur di daftarkan sebagai asset dalam simbada,” ujarnya.

Adapun harapan yang disampaikan oleh Abdul Rahmat Thaha bahwa dasar hukum harus diperjelas, karena seakan-akan Pemkot mengkemas sebuah aturan.

“Dasar hukum harus diperjelas, dalam masalah ini seakan-akan pemkot mengekemas sebuah aturan, sehingga aturan ini membuat lahan ini menjadi sebuah asset di sisi lain sudah puluhan tahun masyarakat yang menghuni membayar retribusi. Saya berharap DPD RI dapat mengawal dan menampung suara masyarakat, hak-hak mereka jangan sampai diabaikan,” kata Senator asal Sulawesi Tengah ini. (Adv)